Mau kepo? disini aja..

Minggu, 04 Oktober 2015

Lana Kumala Series 1

Lana Kumala, ya begitu namaku. Sangat sederhana. Sesederhana kehidupankau. Kehidupan seperti anak sekolah biasanya. Tidak banyak yang perlu aku ceritakan. Tapi mungkin ingin kau dengarkan. Ini adalah sekumpulan kehidupan biasaku. Panggil saja aku Lala. Mungkin terdengar sangat kekanak-kanakan. Tapi aku sangat menyukai panggilan itu. Bukan karena aku gadis manja yang ingit dibilang imut. Tapi panggilan itu mempunyai sejarah dalam hidupku. Sejarah manis yang akan aku mulai ceritakan kepadamu.
ef
            Ya seperti biasa, aku terbangun tepat pukul 05.30. Sudah sangat terlambat untuk shalat Subuh. Aku pun terburu-buru, apalagi ini hari pertama masuk sekolah. Aku harus terbiasa naik angkutan umum, tapi untungnya hari ini Ayahku berbaik hati mengantarku ke sekolah. Lebih tepatnya, Ayah takut aku kesasar. Ya memang aku tidak begitu banyak hafal kota Jakarta. Walau sudah 3 tahun disini, aku tidak banyak mengingat alamat disini.
            “Mala, ayo buruan nanti terlambat. Bekalnya jangan lupa dibawa Nak.” Teriak Ayah dari atas motor, dan aku masih sibuk mencari topi togaku. Untung aku menemukannya di atas kasur. Lalu aku buru-buru menghampiri Ayah dan berangkat. Sampai di sekolah, aku langsung menuju papan pengumuman dan mencari nama kelasku. Aku mendapat kelas Kapitan Pattimura.
            Masih 15 menit lagi upacara dimulai, lebih baik aku ke lapangan. Sebagai siswi baru aku harus terlihat baik bukan? Aku menelusuri jalan koridor menuju lapangan, sekolah ini memang lebih besar dari sekolahku dulu, sekolah unggulan walau bukan sekolah yang diharapkan Ayahku. Tapi Ayah cukup bangga aku bisa sekolah disini. Aku tak peduli, aku hanya ingin sekolah.
            Pandanganku terhenti sejenak melihat seseorang disamping gawang. Seseorang yang sepertinya aku mengenalnya. Matanya. Aku merasa deja vu sesaat. Mungkin ia menyadari aku memandangnya.
“Aduh”  aku terjatuh. Topi togaku hampir saja terinjak gadis dengan pita berwarna kuning. Tapi ia berlalu begitu saja.
“Maaf” begitulah ucap pria yang menabrakku.
“Iya gapapa” jawabku ketus sambil memakai topi togaku kembali. Seseorang disamping gawang itu telah hilang. Hilang sudah kesempatanku untuk mengenalinya.
“Eh...anu..” Baru kusadari ia memakai toga merah seperti punyaku.
“Apa?” Aku masih kesal dibuatnya
“Gapapa sih tapi sekali lagi maaf ya tadi gue gak sengaja. Tadi ada cewe cantik banget pengen gue kejar eh malah nabrak lo. Sorry ya” disaat seperti ini dia masih saja membuatku jengkel. Aku hanya tersenyum ikhlas lalu pergi meninggalkannya. Mungkin cewe yang dia maksud gadis berpita kunging tadi. Cowok menjengkelkan dengan gadis angkuh. Kalian memang sangat cocok.
Upacarapun dimulai. Aku tidak menemukan sosok itu lagi. Sosok yang membuatku berhenti bernafas sesaat. Perasaan apakah itu? Aku dibuat cemas olehnya. Apa ada sesuatu yang terlupakan? Siapakah dia?
Hampir saja aku tenggelam dalam lamunanku, tiba-tiba cowok yang menabrakku tadi berbaris disampingku.
“Eh lu lagi. Btw tadi kita belum kenalan nama gue Ghozy Sayaddad Abdullah tapi panggil aja...”
“Hei yang baru datang. Barisnya di samping tiang bendera. Udah telat malah cengengesan lagi!” teriak kaka kelas yang sepertinya OSIS SMP N 26 Jakarta. Belum selesai memperkenalkan dirinya, ia sudah dihampiri kaka kelas. Cowok itu hanya senyum yang membuatku makin kesal melihatnya. Ternyata ada orang yang lebih menyebalkan daripada diriku sendiri. Aku bersyukur dalam hati.
Upacarapun dilanjutkan, selanjutnya yang melanggar mendapatkan hukuman yang menurutku sangat garing. Foto alay. Bagiku itu bukan hal yang lucu. Sangat biasa. Membosankan. Apalagi bagi murid baru wajib meminta tanda tangan seluruh osis. Aku tidak peduli dan lebih memilih ke ruang UKS.
Ruangan ini sangat dingin tapi begitu hangat. Terdapat 2 buah kasur yang ditutupi tirai berwarna hijau. Aku memilih kasur yang paling pojok untuk beristirahat sejenak. Darah rendahku kambuh. Kepalaku pusing. Aku ingin kedamaian sesaat. Jauh dari hiruk-pikuk lautan manusia. Kudengarkan lagu dari headset. Lagu kesukaanku.
¯dai yin mai hua jai chun mun gum-lung bork ruk ruk ter yoo
dtae chun mai art ja bert pia jai ork bai hai krai dai roo
dai yin mai hua jai chun yung koi yoo dtrong nun
ror hai ter bert doo lae wung piang kae ter roo suk wun neung¯

Tiba-tiba tirai hijau itu dibuka seseorang. Mata kami saling bertemu. Aku terdiam. Dia hanya melihat ku tanpa berbicara sedikitpun. Badannya tegap. Ia tak terlihat kaget.
¯dai yin mai hua jai chun yung koi yoo dtrong nun ror hai ter bert doo
lae wung piang ter ja roo waa kon kon nee ruk ter yoo
yung kor hai ter roo suk wun neung¯

            Kami masih terdiam. Ia hanya menatapku dengan mata kosong. Lagu ini menyadarkanku sesuatu. Ada perasaan lama yang muncul kembali. Ada perasaan rindu sekaligus benci. Apa aku harus kembali?
            “Permisi” Baru saja aku merasakan perih sekaligus bahagia. Cowo menjengkelkan itu datang lagi.
            “Maaf ganggu ya, boleh minta tolong ga? Tolong cariin obat migran dong. Kepala gue pusing banget kena omelan anak osis.” Ghozy, itulah namanya. Cowo yang menabrakku tadi pagi. Cowok yang membuatku kehilangan sosoknya. Cowok yang lagi lagi membuat Dia pergi meninggalkanku lagi. Aku tau Dia sangat tidak menyukai orang asing. Apa sekarang aku orang asing baginya? Baru saja aku ingin mengejar sosok itu. Ghozy sudah menghalangiku.
“Gue tau lu masih kesel gara-gara tadi pagi gue tabrak. Tapi please ambilin gue obat migran. Hipotensi gue kambuh.” Ia memegang tanganku dengan bergetar. Aku membiarkan Dia pergi. Apa Dia menghindariku?
Aku tak mau larut dalam perasaan itu. Aku harus terlihat tidak ada apa-apa. Karena memang sudah tidak apa-apa lagi diantara kami. Aku pun mencarikan obat migran untuk Ghozy.
“Kok lu diri terus? Tiduran aja, gue cariin obatnya.” Ucapku agak lunak. Aku kasiahan melihat kondisinya saat ini. Baru tadi kulihat ia begitu menyabalkan. Tapi kini sengan berdiri lemas memjamkan mata dengan muka pucat.
“Kan udah gue bilang. Gue hipotensi.” Jawabnya dengan sedikit nada kesal
“Hipotensi?”
“Lo gatau hipotensi? Bahasa gaulnya darah rendah. Sorry tadi rada kasar. Kepala gue bener-bener nyeri banget.”
“Ohh, iya gapapa.” Akhirnya obat itu ketemu. Aku langsung memberinya ke Ghozy dan membuatkannya teh hangat. Ternyata UKS ini lengkap juga. Baru ku sadari. Ghozy lumayan juga untuk ukuran anak menyebalkan. Kulitnya putih bersih beda dengan kulitku yang sawo mateng akibat sering bermain di sawah saat kecil. Masa-masa paling bahagia dalam hidupku.
“Loh? Kok lo bengong?” tanya Ghozy dengan wajah yang lebih cerah
“Gak kok. Cuma mikir.”
“Mikirin apaaan? Masih mikirin hipotensi?”
“Gapapa. Bukan urusan lu.”
“Ohh yaudah. Btw cowo tadi temen lu ya?”
“Bukan.”
“Bagusdeh. Itu cowo gaboleh jadi temen lu.”
“Kenapa?”
“Lagian dia udah ngerebut inceran gue.”
“Inceran lo?”
“Iya tadi pagi kan gue udah bilang. Gue gak sengaja nabrak lu gara-gara lagi ngejar cewe. Eh tadi pas sebelum upacara gue liat dia lagi ngobrol sama cowo tadi. Keliatannya mereka akrab banget. Gue jadi kehilangan kesempatan deh. Gue kesel jadi ngadem aja di wc eh malah telat upacara. Padahal kan gue....” Belum sempat Ghozy melanjutkan ceritanya aku langsung saja bertanya
“Keliatan akrab gimana?”
“lo suka ya sama cowo tadi?”
“Gue nanya sama lu, mereka akrab gimana?”
“Ya orang gak kenal juga kalo ngeliat mereka pasti ngiranya udah kenal lama banget. Mereka ketawa lepas banget. Terus cowo itu makein topi toga ke cewe inceran gue. Lo bayangin aja, Oji dikalahin cowo culun kaya gitu. Bener-bener hari sial gue. Itu cowo minta....” lagi-lagi belum sempat Ghozy melanjutkan ceritanya, aku langsung keluar UKS. Aku tak tahan mendengar ceritanya. Ghozi terlihat kebingungan. Tapi bagaimana bisa aku sanggup mendengar fakta bahwa Dia sangat dekat dengan orang lain tapi justru menjauh dariku?
Apa kau harus melupakan segalanya? Air mataku mulai mengalir deras.
Ayah, apa saat itu aku harus bersama Ibu saja?